Gadis Pecinta Kupu-kupu Dikemas 26/01/2004 oleh Editor oleh C. Lilik K P. Gadis Kecil Pecinta Kupu-kupu “Aku merindukan kupu-kupu,” Kata Mirah pada Atma. “Kalau engkau baik padanya, kalau ia menyukaimu, ia akan hinggap dengan lembut dan tersemat di dadamu” “Mengapa kupu-kupu ?” “Karena ia masa kecilku.” Senja. Angin Menoreh menyusup ke lembah-lembah. Bocah-bocah Menoreh mulai menaikkan layang-layang mereka satu demi satu ke angkasa. Mereka beruntung, para Penunggu Angin yang menghuni bebatuan besar di puncak-puncak pegunungan itu mengutus anak-anak angin untuk menemani mereka bermain-main dengan kemudaan dan cuaca. Dan anak-anak angin pula yang merasuki orang-orang tiap kali sinden dan wiraswara pertunjukan dusun menyanyikan kidungan rakyat menyeru nama-nama mereka yang purba . Maka para penari pun lantas larut ke dalam tepukan kendang hingga pagi tiba. Hanya air kembang, sesajian, dan sang empu yang mampu mengikat mereka dalam arena keteraturan. Anak-anak angin mengisi bebatuan, pohon-pohon dan sendang-sendang. Anak-anak angin merapat di batu, di pohon, dan menjadi sahabat setiap bocah-bocah dusun. Mereka bercanda dan bercengkrama tiap kali bocah-bocah itu mencebur diri dalam hijau air sendang atau berloncatan di sela-sela bebatuan dan pohonan, laksana kera-kera yang dengan nakal seringkali turun mengganggu tanaman warga dusun-dusun Menoreh Utara. Menoreh adalah ibu setiap kanak yang terlahir, dan Para Penunggu Angin yang dengan arif mengirim kidung kehidupan lewat nyanyi daun-daun ibarat Bapa bagi bocah-bocah ingusan itu. Dan dari anak-anak Menoreh, lahirlah seorang Mirah. Dan Mirah cinta pada kupu-kupu, sebab kupu-kupu yang pertama mengenalinya sebagai seorang sahabat yang hangat dan penuh asih. Dulu, ketika ia belum mengenali cinta pada siapa saja, seekor kupu-kupu besar dengan sayap koyaknya terkulai tanpa daya jatuh ke pangkuannya, menjadi isyarat pembuka tentang hidup dan pusaran makna-makna. Tapi menyematkan seekor kupu-kupu gajah di dada tentu bukan hiasan yang manis buat siapa saja. “Ia terlalu besar untuk sebuah bros” tutur ibunya. Kata-kata yang terdengar menyakitkan buat Mirah kecil, yang tak pernah mengijinkan apa dan siapa saja hinggap di dadanya, bahkan bagi Rofik, yang sejak kanak-kanak selalu dibayangkan Mirah sebagai kekasihnya. Kalau toh kini ia mengijinkan kepala Atma merapat ke dada dan pangkuannya, itu lantaran kini ia telah menemukan cinta yang lebih kuat dari kupu-kupu, walau mungkin tak lebih agung dari itu. “Aku tak membandingkan cintamu dengan seekor kupu-kupu. Tapi kupu-kupu tak pernah meminta, ia hanya menyerahkan dirinya, dan begitulah kau akan mengenalinya sebagai hidup dan berharga.” Kata Mirah perlahan sambil mengusap rambut Atma di pangkuannya. Teduh rumpun bambu menyejukkan mereka, sekalipun masing-masing dari daun-daunnya menyimpan takjub mencemburu. “Aku tak menuntut apa-apa darimu, aku hanya mencintaimu. Sekalipun cinta adalah sebuah kata-kata baru bagiku. Sebab aku hanyalah seorang murid dalam hal ini. Sebagai misteri ia terlalu agung bagiku, sebagaimana secara fisik, ia terasa teramat memuakkan. Dan aku belum lagi berani bercinta. Ajari aku dengan cinta kupu-kupumu.” Mirah dan Atma menatap sahabat-sahabat mereka memainkan layang-layang di langit-langit Dusun Klonthangan. Angin dari puncak Watu Adeg menyusup ke rumpun-rumpun bambu, mengggoyang topeng-topeng barongan di rumah Kang Amin. “Barate teka !” Seru Muhfid menunjuk ke pucuk-pucuk pohon di puncak-puncak bukit yang bergoyangan ditiup angin. Bocah-bocah yang menanti di jalanan dusun pun berlarian menarik layang-layangnya. Layang-layang bergoyangan naik meniti angin. Sendaren mulai berdengungan. “Kupu-kupuku lincah seperti layang-layang itu. Tapi ia tidak berdengung, ia menyanyikan lagu kehidupanku.” “Cintaku akan mengidungkan lagu-lagu bagi jiwamu.” Daun-daun bambu gemerisik membincangkan mereka. Lalu mendadak mereka kehilangan kata-kata. ---oOo--- Cinta di sebuah kuliah lapangan memang bukan cinta yang bisa dipercaya. Ketika batas budaya, batas tradisi menjadi penghalang, hanya para pemberani yang mampu melibas jalan tualangnya sendiri. Mirah dan Atma memang bukan orang-orang penakut, namun penghormatan pada leluhur dan bumi kelahiran membuat mereka memutuskan untuk tidak pernah bersatu. Tapi hari-hari ini adalah hari-hari saat keduanya mencoba menghidupi cinta dan setia, meski di hati masing-masing tahu, betapa itu semua tak mungkin terus terjadi. Toh cinta tak pernah menunggu masa depan. Sesungguhnya, ia bahkan tak pernah sama sekali mempersoalkannya. Untuk hal ini, mereka tak butuh tahu betapa pengalaman mencintai dan dicintai tak pernah menjadi pengalaman yang sia-sia. Mereka kini hanya ingin melewatkannya. Ya. Kalau mereka tak boleh berharap apa-apa, toh mereka masih bisa mencipta bersama kenangan-kenangan singkat. Barangkali kelak, jika jiwa mereka letih dan merindukan seorang kekasih, mereka bisa sejenak membaringkan diri di dalamnya. Memanjakan diri pada sebuah masa lalu. Maka mereka mencoba merekam sebanyak mungkin dari peristiwa : menciumi aroma rumput-rumput basah yang baru saja disabit bagi ternak-ternak, menyusuri jalan-jalan tangga di sela-sela rumah bambu, menyapa setiap pepohonan, memainkan layang-layang, merajang tembakau, hingga bermain-main di kolam ikan, tempat separo warga dusun membuang hajat ketika perut mereka memanggilnya. “Marilah kita mencoba membayangkan untuk sebuah yang tiada akhir.” Kata Atma pada suatu hari. Tapi Mirah pura-pura tak mengerti. Ia tahu pasti kapan ia harus pura-pura tak mengerti, agar hari-hari mereka tak perlu terusik rasa sakit yang tak berguna itu. “Mengapa engkau suka membangkitkan rasa sakit dalam dirimu, Atma ? Bukankah indah untuk tidak memikirkannya ?” Mereka tahu itu. Ketika cinta tak boleh punya masa depan, biarkan ia menguasai sepenuhnya kekinian. “Kamu tak mengerti. Kita sama sekali tak bisa menawar, maka ini semua akan menjadi sangat indah kalau kita bangun dan melawan.” “Engkau masokhis.” “Bukan. Aku idealis.” “Engkau melakukannya bagi dirimu sendiri, dalam ruang batinmu sendiri. Sesuatu yang melulu beredar di kepala tak pernah menjadi perjuangan yang sesungguhnya.” “Karenanya aku menariknya ke ruang kita. Ke beranda, agar masing-masing dari kita bisa menatap dan membincangkannya.” “Engkau menarikku ke dalamnya. Engkau memaksaku.” “Tidak, tidak Mirah. Aku ingin berbagi denganmu. Ya segala sesuatunya, juga ketakutan-ketakutan akan apa yang pasti akan terjadi.” “Engkau hanya ingin memaksaku masuk ke dalam permainanmu. Ke dalam kegemaranmu menyakiti dirimu sendiri. Engkau begitu egois, Atma. Egois.” Atma terdiam. “Aku tidak tahu, Mirah. Aku tidak tahu.” Bunga-bunga semak di pinggir jalan, adakah engkau mempunyai sebuah nyanyian ? Serukan ke dalam hati-hati kami agar kami tak lagi sepi. ---oOo--- Tapi cuaca menjadikan leher-leher bunga itu kering dan serak, tak mampu bersuara. Maka jadilah sepi itu. Tak ada suara, apa lagi lagu-lagu. Lalu Mirah pun bertutur tentang kupu-kupu. “Suatu hari kupu-kupu lucu itu hinggap dengan lincah di telapak tanganku. Ia menatap manja mesra langsung ke mataku. ‘Aku punya sebuah kisah untukmu’ katanya dengan keriangan ajaib yang tak pernah kujumpai sebelumnya. ‘Ayo ceritakanlah padaku’ kataku. Tapi ia terus tertawa-tawa. Ia tiba-tiba terbang dan terus menarikku. Ia melesat menyusup di sela-sela pohon tembakau, melintasi sawah-sawah, pematang-pematang, dan pohonan kelapa. Ia terbang berloncatan dari bunga ke bunga. Tinggal pada yang satu untuk mencecap madu-madu, hinggap pada yang lain dan menggoyangkan kelopak-kelopaknya dalam keceriaan yang suci.. Daun, pohon, kayu, tanah, air, ranting, awan, juga matahari terus bergerak dalam kidung masmur keabadian. Dan kupu-kupuku terus menari. Ketika ia mengepakkan sayap-sayap kuningnya, serbuk-serbuk sari yang melekat pada tubuhnya terburai dalam angin. Kini angin menarikan penciptaan itu, melahirkan citra-citra ajaib dari butiran-butiran serbuk sari yang mempercayakan diri padanya. Angin membelai daun-daun, yang lalu tersipu malu, dan menggoyang-goyangkan dirinya dengan gembira. Kegembiraan dan spontanitas memberi keberanian pada kanak-kanak embun yang semula mesra merangkul ibu daun-daun untuk menjalani sendiri tualangnya. Maka berluncuranlah mereka di helaian daun, -sedikit takut-takut ketika tiba di ujungnya- untuk kemudian meloncat dengan bebas merdeka ke jutaan sahabat mereka di kolam dan sendang-sendang Klonthangan. Sorak sorai menyambut kebebasan baru yang kini mereka miliki. Gelombang-gelombang keceriaan yang suci terus berpendaran di muka sendang. Kegembiraan pun perlahan mengendap sebagai syukur, segala sesuatunya begitu jernih, segar, dan indah dalam kearifan hidup yang dalam. Ketika cinta itu utuh terlukiskan, tak ada lagi kata. Tak ada lagi bahasa.” “Tapi tiba-tiba saja kupu-kupuku jatuh terduduk dengan letih. Air mata mengalir dari pipinya. ‘Maafkan aku, maafkan aku, sobat. Aku tak bisa berkisah padamu. Kisahku hanyalah sebuah perjalanan. Aku tak bisa berbagi dengan padamu. Aku sendiri bahkan tak menemukan puisi itu lagi ketika aku mencoba meloncati bunga-bunga yang sama, daun-daun yang sama saat aku pertama mengalaminya. Maaf kalau engkau tidak mengerti’ kata kupu-kupuku.” “ ‘Aku mengerti’. Kataku. ‘Aku mengerti sepenuhnya, aku mendengar semua kisahmu dari kegembiraan di wajahmu. Kegembiraanmu abadi. Engkau kupu-kupu sufi’.” Dan Atma makin mencintai Mirah. ---oOo--- Dan semakin cinta itu merasuk ke dalam, semakin ia terasa menyakitkan. Hingga mereka memutuskan untuk saling tak bertegur sapa. Tapi ketika hari itu tiba, seekor kupu-kupu tiba-tiba hinggap di jendela kamar Atma. “Apakah aku mengenalmu kupu-kupu ? Jika engkau benar cinta Mirahku, engkau tak bisa berkata-kata. Kata-katamu tak pernah sepenuhnya ada. Aku tahu ini semua. Engkau hanya bisa berkata-kata lewat batinnya. Engkau kata-kata dari kearifannya. Hatiku tak cukup mengerti bahasamu, mengartikan satu demi satu pesan cinta dalam perbincangan bersama seekor kupu-kupu, bagiku terasa begitu konyol dan lucu.” Atma terkejut dengan kata-kata yang meluncur dari hatinya. Apakah ia merasa cemburu ? Ego seorang lelaki yang takluk oleh kupu-kupu ? “Aku bukan kupu-kupu Mirah. Aku kupu-kupu dari batinmu. Sebab itulah aku bisa berbicara kepadamu, karena aku berbincang dari bahasamu, dari tiap-tiap kata yang terucap lewat lidah batinmu.” ---oOo--- Tak seperti biasanya, pagi itu Para Penunggu Angin mengirimkan kera-kera putih. Mereka lincah berloncatan dari dahan ke dahan. Keluar dari pertapaan-pertapaan ajaib di puncak-puncak bebatuan Menoreh. Kera putih telah menyebar ke seluruh wilayah dusun Klonthangan, kera putih berburu musuh abadinya. Tapi Atma bukanlah Rahwana yang menculik Sinta. Ia adalah seorang yang kepadanya Mirah mempercayakan seluruh hidupnya. Bahwa kemudian kehidupan itu sendiri yang menolak meronta dan memutuskan sendiri jalan hidupnya, itu perkara lain. “Kera itu akan mengawal engkau dan kupu-kupumu, Atma. Biarlah ia menjadi suara jiwamu. Dan kupu-kupu, adalah sahabat tualangmu.” “Maafkan aku, Mirah. Aku tak bisa memberi sayap pada cintamu. Bahkan aku tak bisa membuatnya bagi diriku sendiri. Aku bukan Rahwana yang bisa menculik dirimu bagi hatiku. Sebab hatiku sendiri tak lagi kumiliki, kutukarkan ia dengan kupu-kupu bagi jiwaku.” sesudah KKN di Borobudur,Yogyakarta, Nov-Des 2003 Penulis, catatan: naskah ini memenangkan lomba cerpen Dies Natalis UGM 2003